Metode Penelitian Hukum

Metode Penelitian Hukum
Jenis – Jenis Penelitian Hukum

Secara singkat macam – macam penelitian itu mencakup sebagai berikut :
A. Dari sudut sifatnya ;
a. Penelitian Exploratif (Penjajagan). Terbuka, mencari-cari, pengetahuan peneliti tentang masalah yang diteliti masih terbatas. Pertanyaan dalam studi penjajagan ini misalnya : Apakah yang paling mencemaskan anda dalam hal infrastruktur di daerah Kalbar dalam lima tahun terakhir ini? Menurut anda, bagaimana cara perawatan infrastruktur jalan dan jembatan yang baik.
b. Penelitian Deskriptif. Mempelajari masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi, sikap, pandangan, proses yang sedang berlangsung, pengaruh dari suatu fenomena; pengukuran yang cermat tentang fenomena dalam masyarakat. Peneliti mengembangkan konsep, menghimpun fakta, tapi tidak menguji hipotesis.
c. Penelitian Eksplanasi (Penjelasan). Menggunakan data yang sama, menjelaskan hubungan kausal antara variabel melalui pengujian hipotesis.
B. Dari sudut bentuknya ;
a. Penelitian diagnostic. Penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan keterangan mengenai terjadinya suatu peristiwa
b. Penelitian Preskriptif.
c. Penelitian evaluative. Mencari jawaban tentang pencapaian tujuan yang digariskan sebelumnya. Evaluasi di sini mencakup formatif (melihat dan meneliti pelaksanaan program), Sumatif (dilaksanakan pada akhir program untuk mengukur pencapaian tujuan).
C. Dari sudut tujuannya ;
a. Penelitian “fact-finding”. Penelitian yang bertujuan untuk menemukan fakta saja.
b. Penelitian “problem-identifcation”. Penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi masalah.
c. Penelitian “problem-solution”. Penelitian yang bertujuan untuk menemukan solusi dari masalah.
D. Dari sudut penerapannya ;
a. Penelitian murni. Bertujuan untuk pengembangan ilmu itu sendiri atau bersifat teori maupun untuk perkembangan metode penelitian.
b. Penelitian terapan. Bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul atau yang ada dalam masyarakat.
Dari sudut tujuan penelitian hokum itu sendiri terdapat ;
a. Metode penelitian hokum normative.
b. Metode penelitian hokum empiris.
Metode penelitian hukum pada umumnya membagi penelitian atas dua kelompok besar, yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum normatif diartikan sebagai sebuah metode penelitian atas aturan-aturan perundangan baik ditinjau dari sudat hirarki perundang-undangan (vertikal), maupun hubungan harmoni perundang-undangan (horizontal). Penelitian hukum empiris adalah sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat.
Kedua model penelitian hukum tersebut perlu saat ini umum dipahami oleh para penstudi hukum di Indonesia khususnya. Pemikiran dua model penelitian hukum tersebut tampaknya saat ini perlu dilakukan pemikiran ulang (rethinking) atasnya. Pemikiran hukum empiris perlu kita fikirkan secara mendalam tentang hakikat model penelitian ini. Pemikiran empiris pada hakikatnya adalah penelitian yang melihat keadaan secara nyata, hal ini berawal dari sebuah filsafat positivisme yang melihat sesuatu adalah benar jika dapat dibuktikan nyata adanya (positif).
Pemikiran filsafat positivisme merupakan bentuk perkembangan akal manusia, yang menurut Auguste Comte (1798-1857) merupakan perkembangan ketiga dari perkembangan akal manusia. Ia menyatakan bahwa perkembangan akal manusia berkembang dalam tiga tahap pemikiran: tahap teologi, tahap metafisik, serta tahapan riil atau positif. Dalam tahap teologi, manusia mencari kebenaran atas berbagai fenomena yang ada di sekelilingnya, mulai tahap politeisme (keyakinan atas dewa-dewa) hingga monoteisme (keyakinan atas Tuhan yang Maha Esa). Tahap kedua adalah tahap metafisik, dimana manusia mulai menyandarkan kepada kemampuan analis dan logika abstral dan menolak kebenaran atas kekuatan magis. Hal ini muncul pada masa Renaissance. Kebenaran logika abstrak mulai ditinggalkan oleh manusia ketika manusia mulai mencari sesuatu yang bersifat positif, nyata, riil, serta rasional. Tahap inilah yang disebut sebagai tahapan positif yang melahirkan pemikiran positivisme. Pemikiran Comte tersebut mendukung faham empirisme yang sangat menjunjung nilai-nilai kepastian. Sosiologi menurut Comte adalah bentuk nyata ilmu yang nyata atau positif, selain matematika, astronomi, fisika, kimia, dan biologi. Pemikiran filsafat positivisme Comte tersebut mempengaruhi perkembangan ilmu hukum yang melahirkan konsep positivisme hukum.
Pemikiran filsafat positivisme menolak segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara nyata atau empirik atau konkrit dan positif adanya. Sesuatu yang bersifat abstrak, tidak nyata, tidak positif, seperti moral, keadilan adalah tertolak. Moral dan keadilan bukanlah hal yang nyata, keduanya tidak dapat diukur, tidak memiliki standar yang jelas, oleh karena itulah moral dan keadilan sulit diterima secara nyata, positif, juga empiris. Mengingat yang benar adalah sesuatu yang bersifat konkrit, positif, terstandar, empirik, dan dapat diukur dengan jelas, maka hukum juga harus memiliki standar yang jelas, baku, empiris (nyata) dan positif tentu saja, dalam hal ini kesemua itu dipenuhi oleh hadirnya Undang-undang. Nyata undang-undang itu ada, masalah adil atau tidak, itu bukanlah urusan hukum, karena keadilan tidak dapat diukur, keadilan di satu sisi akan memunculkan keadilan di sisi yang lain, lalu manakah yang dirasakan paling adil? Sangat-sangat tidak jelas! Yang jelas yaitu yang konkrit dan positif dalam hal ini adalah Undang-undang, sebuah pemikiran hukum yang sangat normatif-positivis!
Konsep berfikir hukum yang ada saat ini kemudian menjadi salah kaprah ketika kemudian para penstudi hukum kemudian melakukan klasifikasi atas dua model penelitian hukum, yaitu model normatif-positivis, serta model empiris-sosiologis. Dimana keduanya secara sadar atau tidak masing-masing melakukan klaim-klaim kebenaran atas metodologi hukum. Perang pemikiranpun terjadi, masing-masing kubu merasa paling benar. Penstudi hukum legal positivis menolak ide pendekatan empiris-soiologis atas hukum, demikian pula sebaliknya.
Berdasarkan pemikiran Auguste Comte di atas, maka jika kita mengklasifikasikan pemikiran hukum termasuk metodologi hukum atas hukum empiris dan normatif, maka sesungguhnya keduanya adalah sama. Struktur bangunan pemikiran hukum keduanya sebangun, karena berasal dari sebuah pemikiran filsafat yang sama yaitu filsafat positivisme yang mendukung faham empirisme! Klaim atas kebenaran aliran pemikiran hukum oleh pemikiran hukum normatif-positivis berbenturan dengan pemikiran hukum empiris-sosiologis tampaknya perlu kita renungkan ulang, karena keduanya berasal dari induk yang sama. Kesalahan fikir metodologis atas hukum tersebut sudah selayaknya menjadi renungan kita bersama.
  1. Tujuan Penelitian Hukum
Secara khusus, maka tujuan penelitian hokum adalah :
1) Mendapatkan asas-asas hokum dari ;
a. Hokum positif tertulis
b. Rasa susila warga masyarakat
2) Sistematika dari perangkat kaedah-kaedah hukum, yang terhimpun dalam suatu kodifikasi atau peraturan perundang-undangan tertentu. Kecuali dari sistematikanya juga diteliti taraf konsistensinya
3) Taraf sinkronisasi baik secara vertical maupun secvara horizontal, dari peraturan-peraturan yang tertulis. Hal ini dapat dilakukan dalam bidang-bidang tertentu yang diatur oleh hukum. Maupun kaitannya dalam bidang-bidang lain yang mingkin mempunyai hubungan timbal balik
4) Perbandingan hukum yang terutama difokuskan pada perbedaan-perbedaan yang terdapat pada aneka macam sistem (tata) hukum.
5) Sejarah hokum yang menitik beratkan pada perkembangan hukum
6) Identifikasi terhadap hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan (adat)
7) Evektifitas dari hokum tertulis maupun hukum kebiasaan yang tercatat
Sedangkan secara umum tujuannya yaitu :
1) Mendapatkan pengetahuan tentang gejala hukum, sehingga dapat merumuskan masalah
2) Memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai suatu gejala hukum, sehingga dapat merumuskan hipotesa
3) Untuk menggambarkan secara lengkap aspek-aspek hukum dari suatu keadaan,perilaku pribadi,dan perilaku kelompok
4) Mendapatkan keterangan tentang frekuensi peristiwa hukum
5) Memperoleh data mengenai hubungan antara suatu gejala hukum dengan gejala lain
6) Menguji hipotesa yang berisikan hubungan-hubungan sebab-akibat
  1. Metode Penelitian Hukum dan Studi Islam
Didalam melakukan penelitian hokum, baik itu yang normatif maupun yang empiris, seyogianya diikuti pula langkah-langkah yang biasanya dianuti dalam penelitian ilmu-ilmu sosial lainnya. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Perumusan judul penelitian
2. Perumusan pengantar masalah
3. Perumusan masalah
4. Penegasan maksud dan tujuan
5. Penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentative
6. Penyusunan kerangka yang konsepsional dan defenisi-defenisi operasionil
7. Perumusan hipotesa
8. Pemilihan metodologi
9. Penyajian hasil-hasil penelitian
10. Analisa data yang telah dihimpun
11. Penyusunan suatu ikhtisar hasil-hasil penelitian
12. Perumusan kesimpulan
13. Penyusunan saran-saran
Pada penelitian hukum normatif, tidak diperlukan penusunan atau perumusan hipotesa. Mungkin suatu hipotesa kerja diperlukan, yang biasanya mencakup sistematika kerja dalam proses penelitian. Didalam penelitian hukum empirispun tidak selalu diperlukan hipotesa, kecuali apabila penelitiannya bersifat eksplanatoris. Pada penelitian yang non-eksplanatoris, kadang-kadang juga diperlukan hipotesa, misalnya apabila penelitian tersebut berujuan untuk menemukan korelasi antara beberapa gejala yang ditelaa.